MENIT KE-45
Oleh: Dewi Syahda
Melody, untuk kesekian kalinya kutengadahkan tanganku untuk merengkuh jiwamu yang lena. Namun engkau tetap bergeming. Menatap dalam-dalam buah rambutan hijau, kuning, jingga, merah, dan hitam yang bergelantungan di ranting-ranting pohonnya. Puas kuupayakan segala cara menyakinkan hatimu dengan perih yang kau rasa, aku pun merasakannya. Namun kau tak peduli, kau masih dengan duniamu. Dunia tanpa batas, tanpa sandiwara.
Betapa ikut hancurnya aku saat menjadi saksi bisu yang hanya bisa membatu di antara sudut-sudut rumahmu. Begitu bedug azan dan suara merdu itu dikumandangkan, kau lari pontang-panting ke kamar mandi. Untuk apa? Pertanyaan yang aku sendiri sudah tahu jawabannya. Kau meluapkan segala lukamu dimulai dari derit pintu alumunium dan disaksikan gemericik air kran yang tak benar-benar kau hidupkan. Hanya tetesan-tetesan yang membuat isakmu lenyap seketika. Aku tahu, aku tahu semua. Sejak saat itu binar matamu lenyap ditelan nestapa.
***
“Mel, apakah besok kamu siap presentasi?” tanyaku di suatu senja, saat kita berjalan berdampingan menapaki jalan bebatuan, jembatan kecil, dan lorong yang hanya muat untuk satu punggung.
“Tentu, mau dua jam pun aku siap!” senyummu disertai tawa renyah yang penuh semangat.
“Aku suka gayamu itu, besok pasti kamu melahap habis cecaran pertanyaan dari rekan-rekan kita,”
“Tunggu saja tanggal mainnya.”
Kami melanjutkan langkah penuh kelakar di sepanjang jalan. Kau adalah sahabat terbaikku Mel, sahabat energik yang selalu membawaku penuh jiwa-jiwa positif. Hingga pada menit ke-45 dari langkah pertama kita melewati lorong kecil itu. Aku ingat betul, menit ke-45. Ia mengalihkan pandanganmu. Kalian saling menyunggingkan senyum. Aku ikut tersenyum bahagia melihat senyummu masih mengulum setelah kalian saling membelakangi.
Benar dugaanku, Mel, presentasi sanggup kau kuasai dengan sangat baik. Semua yang hadir memberimu apresiasi yang sangat tinggi, tanpa terkecuali aku, sahabatmu. Sesuai janjiku kutraktir kau soto khas Pekalongan, soto tauco yang sangat kau gemari kuah kentalnya itu. Lahap kau habiskan dalam beberapa menit, bukti energimu habis kau gunakan untuk berpikir keras menjawab setiap pertanyaan yang dahsyat dari mahasiswa asing itu.
Ibarat batang yang tidak akan jauh dari akarnya. Kemeja yang tidak akan terpisah dari motifnya. Lantai yang takkan pernah jadi tanpa air. Kembali kau berpapasan dengannya dan kali ini kalian berkenalan. Aku tak peduli siapa namanya, bukan aku tidak menghargaimu saat kau berulang kali bercerita dan menyebut namanya. Sampai saat ini pun aku tak pernah menyebut namanya. Ada bagian dari relung kalbuku yang perih saat nama itu masuk ke indra pendengaranku.
Sejak saat itu, Mel, kau bukan Melody yang aku kenal 5 tahun yang lalu. Lorong-lorong dan jalanan berbatu yang menjadi saksi bisu kelakar kita ikut terisak melihat kau sibuk dengan gawaimu, sedang aku hanya mengulum senyum untuk diriku sendiri di sampingmu. Sesekali kuperlambat jalanku dan kau memimpin jalan di depan. Aku berharap kau kehilangan dan memanggilku dengan senyuman kasih sayang. Kau tak peduli, aku di mana, kau bahkan tak menyadari bahwa aku sudah tertinggal jauh dari sisimu.
Kau berubah, Mel, lebih asing dari pada bayi yang berpisah dengan rahim. Lebih jauh dari sorot lampu mercusuar untuk lautan yang luas. Lebih dalam dari Palung Mariana.
“Mel, kumohon jangan kau sakiti dirimu sendiri. Dia adalah salah satu duri dari sekian duri yang pernah kau pijak di jalanan. Lupakan saja. Kau sudah mulai berubah. Tidak lama lagi kita akan melewati banyak masa sulit untuk mengakhiri kehidupan kita di kota rantau ini. Kau harus kembali fokus pada cita-citamu.”
“Tidak Anjani, tidak, dia bukan duri. Dia adalah kuncup bunga yang belum mekar. Cobalah kau tengok, warnanya masih merah pucat, kelak, mungkin lusa, ia akan merekah, warnanya jadi merah darah dan cita-citaku terlaksana.”
“Terlalu tinggi khayalanmu, Mel, dia hanya batu karang, tak selembut mahkota bunga yang tunduk pada kelopaknya dan kuat ditopang tangkainya.”
“Jangan berprasangka tidak baik, batu karang pun berharga dan bernilai jika kau tahu cara menggunakannya. Aku tahu, aku sangat tahu dia.”
“Mel, ingatlah pada kedua orang tuamu yang sangat mengharapkanmu bisa menggapai cita-citamu. Kau sudah melangkah terlalu jauh, Mel. Banyak tugas yang kau tunda. Semua dosen sudah menanyakan perihalmu kepadaku. Kemana Melody saat jam kuliah ini, ini, dan ini? Kemana Melody yang biasanya sampai senja sanggup menghabiskan waktu di antara buku-buku berdebu? Kemana Melody yang riang gembira menyambut terbitnya fajar dan mengantar terlelapnya fajar? Kemana, Mel? Sadarilah, ini bukan kamu.”
Kau bergeming. Oh, maafkan aku Mel, mungkinkah karena kalimatku itu membuat jarak di antara kita semakin terasa renggang? Mungkinkah karena sombongnya aku, merasa aku yang paling benar membuat tali persahabatan kita koyak di segala sisi hingga aku tak mampu lagi menambalnya? Kau semakin tak dapat kujangkau dengan tongkat kayu terpanjang sekali pun. Maafkan keegoisanku ini, Mel.
Hingga masa-masa yang kita impikan bersama itu tiba. Aku masih ingat betul kita berjanji akan saling merias, aku meriasmu dan kau meriasku. Bahkan warna kebaya sudah kita tentukan, jarit yang waktu itu kau tunjuk sebagai salah satu rekomendasi, dan heels cokelat muda yang masih rapi kita simpan bersama di lemari kamar kos kita. Aku memakai semua yang kita rencanakan dulu, Mel. Derai air mataku melewati relung pipiku saat perias mulai membubuhkan bedak sebagai tanda penghormatanku pada momen yang dinanti-nantikan oleh semua mahasiswa ini. Kau di mana, Mel? Bisikku menambah perih dan sesak di dadaku. Seharusnya saat ini engkau yang paling bahagia, bersiap untuk pidato di atas mimbar sebagai yang terbaik dari ratusan mahasiswa yang baik.
Aku masih mencarimu. Di semua sudut yang mampu kujangkau. Sayup kudengar kabar tentangmu. Kau pingsan dan dilarikan ke rumah sakit sesaat setelah menerima undangan pernikahan dari seorang kurir.
Benar, itu kamu, Mel, Melody Cahya Utami, sahabatku, yang menghindariku 7 bulan lamanya sejak kalimat sakti itu keluar dari lisanku yang tak kujaga dengan baik. Aku masih mengenalimu dengan baik meskipun hanya kulit yang membungkus tulangmu. Cahaya matamu memudar, kau mendengarku, tersenyum padaku, mungkin mengenaliku, tapi kau tak lagi pernah mau bercanda dan berkelakar denganku.